PORTALKRIMINAL.ID – JAKARTA: Saya sangat menyayangkan vonis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Banten tersebut. Apalagi Hakim PT Banten membacakan vonis itu bertepatan pada Hari Anti Narkoba Sedunia yang dirayakan setiap tanggal 26 Juni.
Demikian disampaikan anggota Komisi III DPR RI Hinca Panjaitan kepada wartawan, Senin (28/6/2021) terkait bandar sabu 821 kg yang hanya divonis 20 tahun penjara oleh PT Banten.
Menurut Hinca, hal tersebut menampar arus dunia yang melawan sindikat bandar narkoba dunia, sekaligus melawan Presiden Jokowi yang mengajak perang terhadap darurat narkoba di Indonesia.
“Sekalipun hakim (yudikatif) punya kedaulatan sendiri, tapi putusannya tak boleh melawan arus rasa keadilan masyarakat,” tegas Hinca
Seperti yang kita ketahui, lanjut Hinca, penyelundupan narkoba pada masa pandemi ternyata tidak mengalami penurunan.
“Bahkan banyak pemain baru yang lahir dari sejumlah negara produsen yang mencoba peruntungan mereka menyelundupkan ke negara-negara ‘big market’, salah satunya Indonesia,” ungkap Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat ini.
Hinca mengaku, dirinya sepakat dengan Ghada Waly (Direktur Eksekutif PBB) yang mengatakan, pandemi yang menyebabkan meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran semakin memperdalam kerentanan masyarakat untuk menggunakan narkoba.
“Bahkan Waly juga menyatakan adanya potensi yang besar terhadap berkembangnya budidaya narkoba atau penyelundupan narkoba dalam keputusasaan mereka untuk mencari nafkah,” jelas Hinca.
Hinca sendiri menyampaikan hal itu untuk menggambarkan, saat ini dunia sedang tidak baik-baik saja.
“Di saat virus mengancam kesehatan umat manusia, narkoba juga masih mengintai dari dekat untuk menghancurkan tubuh generasi muda kita,” ujar mantan Plt Ketum PSSI ini.
Hinca menilai, apa yang diputuskan oleh hakim PT Banten cukup menyayat hati. Barang bukti berupa sabu sebesar 821 kg itu adalah angka yang fantastis.
“Berapa banyak korban yang akan menyalahgunakan barang haram tersebut? Ratusan ribu pengguna, bahkan bisa jutaan yang harus tenggelam dalam lubang hitam tersebut. Tapi vonis mati justru dianulir. Saya sangat kecewa,” aku Hinca.
Hinca menyebut, banyak logika penegak hukum di Indonesia ini yang terbalik-balik. Contohnya seperti vonis yang saya temuka di Kota Medan. Ia adalah terpidana pengguna sabu sebesar 0,09 gram, tapi justru vonis yang ia dapat cukup lama yakni mendekam di tahanan selama 2 tahun 3 bulan.
“Sejatinya, para korban itu mendapatkan rehabilitasi medis dan sosial,” terang Hinca.
Hinca mengingatkan, distorsi seperti ini akan semakin membawa Indonesia ke dalam ketidakjelasan cara pandang para penegak hukum kepada kejahatan narkotika.
“Terlebih yang saya lihat, para bandar akan tetap saja menjadi bandar di dalam lapas. Ia mampu mengendalikan bisnis narkobanya dengan berbagai cara. Itu sudah menjadi rahasia umum. Ini adalah kemunduran. Tragis sekali,” tutur Hinca.
Lebih lanjut, legislator asal Dapil Sumut 3 ini pun mendesak Mahkamah Agung (MA) untuk segera turun gunung dan mengoreksi putusan ini saat kasasi.
“Kasasi harus diajukan Jaksa Penuntut Umum. Tidak boleh tidak,” pungkas Hinca Panjaitan.
Sebelumnya, PT Banten menganulir putusan hukuman mati 2 orang penyelundup narkoba jenis sabu seberat 821 kg, yakni Bashir Ahmed dan Adel Awadh. Kedua bandar tersebut hanya dihukum kurungan penjara selama selama 20 tahun.
Bashir Ahmed adalah WNA Pakistan yang sengaja menyebar barang haram itu ke Indonesia bersama Adel bin Saeed Yaslam Awadh, seorang WNA Yaman.
Bandar narkoba ini mengirim sabu sari Iran melalui perairan Tanjung Lesung wilayah Banten Selatan pada awal tahun 2020 lalu.
Kasus ini sendiri berawal pada akhir Februari 2020 Bashir dan Adel tiba di Indonesia dan menginap di apartemen milik Adel di kawasan Pejaten Timur, Jakarta Selatan.
Sepuluh hari tinggal di Jakarta, Bashir di telepon Satar yang merupakan DPO dalam kasus ini yang isinya ‘barang sabu akan dikirim ke Indonesia’.
Setelah mendapat arahan, sabu akan tiba di Indonesia, Bashir meminta Adel membantunya karena Adel ini sudah lama tinggal di Indonesia.
Setelah disetujui Adel, Bashir saling berbagi lokasi dengan Satar melalui WhatsApp.
Setelah tahu keberadaan Satar, Bashir meminta Adel mencari tempat untuk menyimpan barang berupa sabu yang lokasinya tidak jauh sesuai di alat GPS Satar.
Adel mengatakan lokasi di GPS itu berada di Tanjung Lesung, lalu Adel menyanggupinya dan menuruti perkataan Bashir.
Singkat cerita sesampainya mereka di Tanjung Lesung, Banten, Bashir dan Adel mencari tempat untuk bisa menyimpan sabu hingga akhirnya ditemukan sebuah ruko yang harga sewanya Rp15 juta selama 1 tahun.
Penjemputan sabu itu dilakukan dengan cara yang sama yakni Bashir dan Adel membawa mobil yang disewa, kemudian menemui Satar yang berada di kapal di pinggir pantai.
Sabu yang dijemput Bashir dan Adel dalam dakwaan ada sebanyak 390 bungkus. Masin-masing bungkus itu seberat 1 kilogram.
Penjemputan sabu ini terjadi lagi pada Mei 2020, Bashir kembali dihubungi Satar kemudian dijemput di pinggir pantai. Kali ini, jumlahnya ada 430 bungkus juga seberat 1 kilogram.
Pengambilan sabu kedua itu adalah yang terakhir. Sebab, selang beberapa hari setelah dia mengambil sabu itu polisi menemukan lokasi penyimpanan sabu itu dan menangkap keduanya.
Sebelum ditangkap, Adel atas perintah Bashir juga sudah menjual 49 kilogram sabu senilai USD500 per kilogramnya. Namun, Adel belum menerima upah atas penjualannya itu. (Daniel)