PORTALKRIMINAL.ID-JAKARTA : Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menyoroti manuver sejumlah pihak yang ‘menyerang’ Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan korupsi pada penyelenggaraan Formula E Jakarta.
Petrus mengatakan, salah satu bentuk serangan itu yakni adanya penggiringan opini bahwa tidak ada yang salah dengan penyelenggaraan Formula E.
Menurutnya, pendapat demikian tidak obyektif dan dilontarkan sekadar untuk membela mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang saat ini maju sebagai bakal calon presiden di Pilpres 2024.
“Pandangan sejumlah pihak akhir-akhir ini yang menilai bahwa tidak ada yang salah dengan penyelenggaraan Formula E di Jakarta pada Juni 2022 yang lalu, merupakan pandangan yang subyektif sekedar membela dan memuluskan pencapresan Anies Baswedan,” kata Petrus dalam keterangannya, Senin (14/11).
Sebagai contoh, Petrus menyinggung pendapat eks Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva beberapa waktu lalu yang menyebut bahwa perhelatan Formula E sangat sederhana dan tidak ada yang salah dengan ajang balap mobil listrik itu.
“Pandangan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva bahwa perhelatan Formula E, sangat sederhana, bisa iya, karena dugaan korupsi pada Formula E-pun dengan mudah dan sederhana dapat dibaca oleh publik, tanpa memerlukan metode yang rumit untuk menilai adanya tindak pidana korupsi,” ujarnya.
Petrus menjelaskan, dilihat dari aspek UU Keuangan Negara, maka Gubernur Anies merupakan Kepala Pemerintahan Daerah yang diserahi tugas oleh Presiden untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan untuk mencapai tujuan bernegara (pasal 6 dan 7 UU Keuangan Negara).
Dengan posisi seperti itu, lanjut Petrus, siapapun pejabat Pengelola Keuangan Daerah atau siapapun Kepala SKPD yang terbukti melakukan penyimpangan dalam penyelenggaraan proyek Formula E harus bertanggung jawab.
“Maka Anies Baswedan menjadi orang pertama yang dimintai pertanggungjawaban pidana bahkan berpotensi menjadi tersangka,” terangnya.
Selain Hamdan Zoelva, Petrus juga menyoroti pandangan Pakar Keuangan Negara Soemardjijo yang mengatakan bahwa pemeriksaan Anies Baswedan yang dilakukan KPK tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.
Adapun Soemardjijo berpendapat demikian dengan alasan bahwa menurut Ilmu Keuangan Negara, penyusunan, pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara itu masuk dalam kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.
Petrus menilai pendapat Soemardjijo itu merupakan pembodohan publik karena yang bertanggung jawab dalam penyusunan, pengelolaan dan tanggung jawab atas Keuangan Negara adalah Menteri/Pimpinan Lembaga/Gubernur/ Bupati/Walikota, bukan BPK.
Sementara BPK, sebut Petrus, memiliki wewenang untuk melakukan pemeriksaan secara umum dan menyeluruh terhadap pengelolaan dan tangung jawab atas Keuangan Negara.
“BPK RI memiliki wewenang untuk melakukan pemeriksaan secara umum dan menyeluruh terhadap pengelolaan dan tangung jawab atas Keuangan Negara, yang dikelola oleh Menteri/ Pimpinan Lembaga/Gubernur/Bupati-Walikota, meliputi pemeriksaan kinerja, pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan dengan tujuan tertentu,” jelasnya.
Petrus menambahkan, sebagai lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif, KPK diberi tugas dan wewenang untuk mencegah dan memberantas korupsi dengan cara koordinasi, supervisi, monitor dengan meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan korupsi pada instansi terkait (BPK, BPKP, Inspektorat, Akuntan Publik dll.) dan melalukan penyidikan dan penuntutan terhadap tipikor.
“Oleh karena itu pandangan Soemardjijo bahwa pemeriksaan oleh KPK hanya dilakukan ketika BPK mengeluarkan SK kerugian negara, adalah menyesatkan, karena tugas KPK dalam penyidikan dan penuntutan tidak bergantung kepada BPK, karena masih ada BPKP, Akuntan Publik, Inspektorat bahkan ada Auditor internal di KPK,” tandasnya (Nugroho)