Opini  

Ketua KPK Tersangka, Indikasi Siapapun Dapat Dijadikan Tersangka, Mantan Presiden Sekalipun

Apresiasi Kinerja Polda Metro Jaya

Oleh: Abdul Haris Iriawan

Sebenarnya, Ketua KPK dijadikan tersangka bukan hal yang baru. Jauh, sebelumnya Antasari Azhar juga pernah mengalaminya pada 4 Mei 2009 dan Abraham Samad pada 17 Februari 2015.

Pembeda dengan dua Ketua KPK sebelumnya, penetapan Komjen Purn. Firli Bahuri ditetapkan tersangka di tengah gonjang-ganjing pertarungan politik diduga antara Presiden Jokowi dengan PDI-P.

Pertarungan, diawali “mbalelo”-nya Gibran yang tidak mendukung Capres PDIP Ganjar Pranowo -Mahfud MD.

Sebaliknya, Gibran bersedia menjadi Cawapres Prabowo Subianto (Gerindra), seteru Ganjar yang diusung PDI-P.

Inilah yang membuat penetapan Firli sebagai tersangka menjadi Breaking News di media online dan elektronik dan menjadi perbincangan utama Netizen di media sosial.

Berbagai sudut pandang dipaparkan, mulai dari yang tidak berkepentingan dengan Pilpres alias bersikap Netral hingga yang memiliki kepentingan.

Semua sah-sah saja. Sebab, semua adalah bentuk implementasi Pilpres adalah Pesta Demokrasi Rakyat.

Saya ?

Saya tidak tertarik dengan aneka pandangan yang menyebut mulai melemahnya kekuatan PDI-P lantaran disebut Firli adalah “barisan” kelompok PDI-P bersama Kepala BIN yang belakangan diisukan akan diganti, tapi sampai kini khabarnya tidak terbukti.

Sebaliknya, menguatnya Barisan Jokowi terbukti diangkatnya Jenderal TNI Agus Subiyanto, Mantan Dandim 0753/Surakarta era Jokowi sebagai Walikota Solo, 2009 sebagai Panglima TNI.

Lalu, Kombes Ade Safri Simanjuntak (Dirkrimsus Polda Metro Jaya) yang merilis penetapan Firli sebagai tersangka, pernah menjabat Kasat Lantas Polresta Solo, 2007 – 2019 saat Jokowi menjabat Walikota Solo.

Semua didasarkan fakta atas perjalanan karir mereka semata dan jauh dari pengkategorisasian.

Kita tinggalkan adu pandangan dari berbagai kelompok. Adu argumentasi tersebut tidak akan pernah ada akhirnya. Masing-masing ngotot dengan pandangan, tentu kepentingannya yang melekat.

Maklum Tahun Politik.

Mari, kita kembali kepada masalah penetapan ketua lembaga penegak hukum sebagai tersangka.

SOEHARTO

Seperti, dipaparkan di atas jerat hukum bukan kali ini saja menjerat Ketua KPK yang kali ini dipimpin Firli Bahuri. Namun, juga pernah menerpa Antasari Azhar dan Abraham Samad.

Ada yang menarik dari penetapan tersangka itu, adalah bahwa mereka dijadikan tersangka oleh Polri. Antasari dan Firli oleh Polda Metro Jaya. Abraham oleh Polda Sulselbar.

Ini mengindikasikan bahwa Polri telah bersikap profesional karena penetapan tersangka didasarkan fakta hukum atau alat bukti yang cukup lepas dari pandangan lain oleh para pihak yang berkepentingan menganggap ada kepentingan politik.

Fenomena ini sekaligus jawaban atas cibiran penegak hukum “ganas” ke bawah, “lembek” ke atas dan patut diapresiasi.

Harapan kita, apa yang dilakukan Polda Metro Jaya menjadi Blue Print bagi Jajaran Kepolisian di semua daerah dan pastinya, rakyat akan mendukung.

Sesungguhnya, KPK juga mengalami masa keemasan saat ditukangi Antasari Azhar, yang berani bersikap kendati dekat dengan lingkar kekuasaan.

Masih ingat, perkara Aulia Pohan (Mantan Deputi Gubernur BI) notabene Besan Presiden Berkuasa SBY saat itu yang dijadikan tersangka, 2009 dan Mantan Kapolri Jenderal Purn. Roesdihardjo dalam kapasitas Dubes RI di Malaysia, 2007.

Kejaksaan Agung bahkan pernah melampaui semua pencapaian lembaga penegak hukum lain saat menetapkan Mantan Presiden Soeharto sebagai tersangka pada 3 Agustus 2000.

Sebuah langkah fenomenal mengingat almarhum adalah Penguasa Orba lebih dari 30 tahun sejak 1967 dan didukung ABRI (TNI) saat itu.

Artinya, bila tidak ada kearifan Jenderal Besar Soeharto untuk mundur bisa saja terjadi konflik meluas.

Dari semua fakta tersebut dapat ditarik benang merah, Aparat Penegak Hukum (APH) akan berani bersikap dalam aneka perkara sepanjang ada bukti, bila diberi ruang.

Mantan Presiden sekalipun sebagai implementasi penetapan semua warga negara sama di depan hukum (Equality by The Law).

Jadi, pada akhirnya bukan undang-undang yang menjadi alasan tidak dapat menjangkau pihak berperkara dan akhirnya terus diproduksi oleh pembuat undang -undang dan akhirnya, menjadi bias seperti pengaturan soal batasan usia Capres dan Cawapres.

Bravo Polda Metro Jaya. (Wartawan Senior)