Intimidasi Kepada Jampidsus Harus Disidik, Seperti Ledakan Bom di Gedung Bundar 24 Tahun Lalu

Abdul Haris Iriawan *)

DUGAAN intimidasi terhadap Jampidsus Dr. Febrie Adriansyah oleh oknum Densus 88 bukan yang pertama.

Jauh sebelumnya, Rabu (5/6/2000) sudah pernah terjadi berupa ledakan bom di kamar mandi di lantai dasar, Kejaksaan Agung.

Saat itu, Kejagung tengah menyidik perkara dugaan korupsi pada 7 Yayasan yang diketuai Soeharto.
Peristiwa terjadi satu jam usai Tommy Hutomo Mandala Putra diperiksa sebagai saksi untuk Mantan Presiden Soeharto.

Sejumlah keluarga Cendana dan Menteri Era Soeharto ikut diperiksa hingga kemudian perkaranya dihentikan lantaran Soeharto menderita sakit permanen.

Peristiwanya nyaris sama, Febrie dan Tim Satgassus tengah menyidik Skandal Tambang Timah Ilegal dan Harvey Moeis (Perwakilan PT. Refined Bangka Tin) Dkk dijadikan tersangka.

Bahkan, Robert Prihantono Bonosusatya alias Robert Bono yang dikenal dekat dengan sejumlah Petinggi Polri ikut diperiksa pada Senin (1/4) dan Rabu (3/4).

Sejumlah aset milik Harvey Moeis, Helena Lim, Thamron Tamzil alias Aon dan 3 Penerima Manfaat lain disita, baik benda bergerak dan tidak bergerak.

Bahkan, Private Jet yang diisikan di Medsos milik Harvey Moeis pun bakal disita bila hasil penelitian aset itu benar adanya.

Tindakan senada juga dilakukan ketika Kejagung menyidik perkara 7 Yayasan dengan menyita sejumlah aset yang terkait 7 Yayasan.

Pembeda antara keduanya, kasus ledakan bom masuk ke ranah hukum dan Petugas Keamanan Dalam Gedung Bundar Alm. Tugiyo sempat dijadikan tersangka.

Meski kemudian, perkara tersebut dihentikan oleh Polres Jakarta Selatan lantaran tidak cukup bukti.

HARUS

Pertanyaannya, apakah kasus dugaan intimidasi kepada Febrie Adriansyah bakal mengikuti perkara ledakan bom ?

Pertanyaan ini muncul mengingat kejadian yang dialami Febrie nyaris sama saat menangani perkara korupsi.

Jika pada perkara ledakan bom pegawai Kejaksaan dapat dijadikan tersangka dan Kejaksaan tidak keberatan.

Maka, dalam kasus dugaan intimidasi jawabannya juga harus bisa agar Publik tahu bahwa hukum berlaku untuk semua sebagaimana amanat Konstitusi.

Disini butuh Political Will. Presiden dan atau Menko Polhukam harus bersikap secepatnya agar kasus tidak berlarut-larut dan menjadi bola liar.

Langkah ini sekaligus bukti bahwa penegakan hukum tidak hanya tajam ke bawah, tetapi juga ke atas.

Secara tidak langsung, taruhan kasus ini adalah penanganan kasus tindak pidana korupsi yang 10 tahun terakhir makin marak.

Publik butuh bukti bukan janji, bukan retorika apalagi pencitraan. (Wartawan Senior *).