Oleh: Abdul Haris Iriawan *)
TIGA bulan lagi Prabowo Subianto dilantik sebagai Presiden ke-8 dan sekaligus pengumuman Kabinet Indonesia Emas.
Pertanyaannya siapa yang bakal dipercaya Mantan Danjen Kopassus sebagai anggota kabinet, khususnya Jaksa Agung Periode 2024- 2029 ?
Kenapa Jaksa Agung yang dipilih karena lembaga ini sangat strategis, terutama dalam penanganan tindak pidana korupsi. Selain itu, secara umum tingkat kepercayaan publik yang terus meningkat.
Banyak nama yang beredar di ruang publik, baik jaksa aktif maupun pensiunan, namun sedikit yang memiliki latar belakang teknis, khususnya dalan menangani tindak pidana korupsi dan kemampuan berbicara di ruang publik.
Sebut saja nama Dr. Febrie Adriansyah (Jampidsus), Dr. Aku Mukartono (Jamwas) dan Febrie Wibisono (Jamdatun). Pensiunan jaksa, Muchtar Arifin dan Noor Rachmad.
Nama lain, Dr. M. Rum (Irjen Kementerian Perindustrian), Dr. Masyhudi (Staf Ahli Jaksa Agung) dan Dr. Firdaus Dewilmar.
Kedua instrumen itu penting sebagai alat ukur agar jaksa agung mendatang tidak seperti menara gading dan tidak membumi.
Kita sebagai rakyat butuh jaksa agung yang mumpuni, berani bicara ke publik dalam setiap kesempatan dan jauh dari formalitas sehingga terkesan ada jarak dengan rakyat (Jurnalis, Red).
Jaksa agung semacam ini sangat dibutuhkan sehingga aneka isu yang muncul dapat dijawab dan terhindar dari multitafsir di tengah Publik.
Sebut saja, perkara Penggadaan Tower Transmisi PLN, perkara Sigma Cipta Caraka dan penguntitan Jampidsus.
Semua menjadi gelap dan publik menjadi ragu dan penuh tanda tanya.
Tiada jawaban sama sekali, tertutup atau ‘ditutupi’ tanpa sadar penanganan Skandal Tambang Timah Ilegal.
Namun pasti, perkara mangkrak itu tidak akan dibiarkan dan bakal dikejar terus sampai ada kejelasan tindak lanjut.
TRADISI
Dus, menjadi penting jaksa agung mendatang harus mengagendakan kembali Doorstop setelah Sholat Jumat dan mau didoorstop setiap kesempatan.
Saya yakin Prabowo Subianto akan mendengarkan hal ini, sebab suka tidak suka semua akan bermuara kepada kepercayaan publik kepada pemerintah.
Budaya Doorstop setelah Sholat Jumat sudah mentradisi sejak era Orde Baru masa Jaksa Agung Singgih dan yang kemudian ditradisikan saat era reformasi, mulai Alm. HM. Andi Ghalib, Alm. Baharuddin Lopa, Abdulah Rachman Saleh, Alm. Basrief Arief dan terakhir HM. Prasetyo.
Tradisi ini menjadi penting bagi Kejaksaan dan Pers. Sebab, Kejaksaan dapat menyikapi secara langsung aneka isu.
Sebaliknya, Pers dapat mempertanyakan berbagai isu yang berkembang.
Pendekatan ini akan membuat kemitraan Kejaksaan dan Pers menjadi dinamis tidak hanya di atas kertas atau pada acara-acara resmi.
Pendekatan ini pula menjadi alat ukur tentang kepedulian, kecerdasan dan kapasitas jaksa agung. Artinya jabatan itu harus diduduki orang yang benar mumpuni bukan kedekatan. Apalagi, menyembah kepada kekuasaan.
Budaya rilis yang dikembangkan saat mengatasi Pandemi pada 2020 – 2022 tidak dihilangkan melalui pendekatan doorstop. Justru saling melengkapi.
Mudah-mudahan Presiden Terpilih menyerap aspirasi ini dan memberlakukan dalam pemilihan jaksa agung mendatang. (Wartawan Senior *)