Oleh: Abdul Haris Iriawan *)
BARU saja kasus Ketua KPU Hasyim Asy’ari dipecat karena terbukti melangar etika (moral), kini muncul lagi kasus dugaan perolehan Profesor oleh Penyelenggaraan negara dengan memanfaatkan jurnal predator untuk memenuhi syarat permohonan guru besar.
Entahlah, kasus demi kasus demi kasus terungkap ke permukaan tiada henti. Seperti puncak gunung es yang tergerus lantaran sudah di luar batas dan memunculkan karma.
Padahal, sebelum ini masih terngiang di telinga kasus Ketua MK Anwar Usman yang juga harus diturunkan dari jabatan karena dugaan pelanggaran etik saat menyidangkan permohonan batas usia Cawapres, yang notabene terkait dengan keponakannya Gibran Rakabuming Raka.
Disini, saya tidak menyoal secara spesifik kasus perolehan guru besar yang kini menjadi trend di kalangan penyelenggara negara beberapa tahun belakangan ini.
Apakah benar jurnalnya masuk kategori predator (abal-abal) atau sebaliknya prestisius di kalangan cendekiawan di dalam dan luar negeri ?
Saya hanya melihat beberapa tahun terakhir etika dan adab makin terdegradasi oleh kepentingan sesaat. Bila tidak ingin disebut kepentingan pribadi.
Dalam artian, kerusakan etika moral sudah demikian menjamur alias membudaya di segala lini kehidupan. Tidak terbatas di dunia politik, hukum tapi juga pendidikan dan aneka kehidupan lainnya.
Mereka tidak peduli apakah mereka memiliki kemampuan akademis yang mumpuni, baik kemampuan menulis di jurnal luar negeri yang tentunya didasarkan penelitian ilmiah bukan sekedar studi kepustakaan.
Juga kemampuan menulis buku yang memiliki nilai akademis dari sudut pandang yang baru. Bukan sekedar buku beberapa lembar dan tebal karena lampiran hanya untuk menjustifikasi perolehan gelarnya.
TENGAH SAKIT
Pelanggaran etik yang terus berulang sejalan dengan terbukanya ruang naik kelas atau status sosial seseorang, baik secara materi maupun kepangkatan.
Disisi lain, praktik liberalisme yang membolehkan lembaga pendidikan tinggi menyelenggarakan pendidikan Magister, Doktoral hingga Penghargaan Profesor membuat semuanya menjadi sempurna.
Kesempurnaan ini menjadi lengkap saat dilakukan dalam masyarakat yang berada tahapan transisional. Modern dalam bungkusan bukan cara berpikir.
Dalam konteks ini, maka umbul-umbul, emblem dan apapun namanya menjadi penting di tengah masyarakat yang demikian.
Mereka tidak pernah mempertanyakan proses pencapaian, kualitas dari seseorang yang memiliki sederet pencapaian akademis.
Kedua unsur ini tumbuh -kembang, khususnya institusi pemerintahan lantaran adanya praktik yang dilakukan oleh elit.
Kepentingan sesaat untuk mengejar kepentingan pribadi ini telah mengorbankan kepentingan lebih besar.
Indonesia Emas bakal menjadi impian kosong, bila pemerintahan baru yang dipimpin Prabowo Subianto tidak segera membenahi. Negeri ini sedang sakit.
Saya percaya dengan latar belakang dan patriotisme Bapak dapat membawa Indonesia Lebih Baik, meski usaha Bapak akan dapat tantangan dari dalam dan luar.
Yakinlah Pak. Selama Bapak melakukan dengan tulus dan ikhlas untuk membawa Indonesia Maju, rakyat akan berdiri dan bersama Bapak. (Wartawan Senior *)