Oleh: Abdul Haris Iriawan *)
“PERCAYALAH Hi (sapaan penulis, Red) Suparta itu hanya pekerja dan terima gaji paling besar Rp 100 juta per-bulan, ” komentar sebuah sumber di Kejaksaan Agung, akhir pekan lalu.
Komentar singkat tersebut menanggapi dakwaan JPU (Jaksa Penuntut Umum) terhadap Suranto Wibowo Dkk dalam persidangan perdana, Rabu (31/7).
Disebutkan Suparta menerima aliran uang hasil tambang timah ilegal sebesar Rp 4, 571 triliun. Sebuah angka fantastis bagi Suparta alias Aphin yang hanya menjabat Dirut PT. Refined Bangka Tin (RBT).
Perusahaan yang disebut -sebut dimiliki Robert Prihantono Budi Susatya alias Robert Bono dan Harvey Moeis diduga menempatkan Suparta hanya sebagai “Pajangan” alias orang yang dikendalikan pihak lain ?
Ini bukan praktik baru dalam aneka kasus korupsi yang disidik Kejaksaan Agung. Modus ini sudah digunakan oleh Edy Tanzil ketika membobol Bank Bapindo Rp 1, 3 triliun awal 90-an.
Lalu, modus PT Cipta Graha Nusantara (CGN) saat membobol Bank Mandiri Rp 300-an miliar. Dirut Edison dan Komisaris Saiful Anwar hanya papan nama. Pengendalinya Diman Ponidjan (Direktur Keuangan).
Kembali kepala RBT, perusahaan ini semula dimiliki Artha Graha Network (AGN) yang berbisnis di bidang tambang timah pada 2007, kemudian pada 2016 sahamnya dijual kepada pengusaha Bangka- Belitung (Babel).
Hanya saja, sampai kini tidak diketahui siapa saja pengusaha lokal yang membeli saham AGN yang diduga dimiliki Tomy Winata ?
Dari catatan Ditjen AHU (Administrasi Hukum Umum), Kemenkumham memang tidak terdapat nama Robert Bono dan Harvey Moeis, dua nama yang banyak disebut dalam seputaran perkara Timah yang merugikan negara Rp 30O triliun lebih.
Meski, di berbagai kesempatan Robert mengatakan dirinya tidak terkait dengan RBT, tapi dia mengaku kenal dengan Suparta selaku pemegang saham RBT.
Harvey yang merupakan suami Selebritis Sandra Dewi sudah dijadikan tersangka. Sementara Robert sudah menjalani dua kali pemeriksaan.
Dalam catatan itu, justru disebut Suparta sebagai pemegang saham mayoritas RBT sebanyak 21. 900 lembar saham atau 73 persen senilai Rp 10, 950 miliar.
Lainnya, Surianto memiliki 5. 110 lembar saham atau 17 persen senilai Rp 2, 550 miliar dan Frans Muller sebanyak 3. O00 lembar saham atau 10 persen senilai Rp 1, 5 miliar.
Gugatan ini lantaran namanya nyaris tidak pernah disebut dalam dunia bisnis tambang timah seperti halnya Thamron Tamsil (Pemilik Smelter CV. Venus Inti Perkasa) misalnya di Babel yang juga telah dijadikan tersangka dan menerima aliran uang Rp 3, 660 triliun.
FAKTA HUKUM
Banyak alat ukur untuk mengecek validitas alat bukti bahwa pemegang saham mayoritas RBT adalah Suparta.
Antara lain, dari penyitaan oleh tim penyidik tidak terdapat aset pribadinya yang Wah yang disita, kecuali pabrik RBT di Kabupaten Bangka. Padahal dia peroleh Rp 4 triliun.
Fakta ini berbeda dengan Harvey Moeis yang disebut Kejaksaan Agung sebagai Perwakilan RBT yang hanya memperoleh Rp 420 miliar bersama Manajer PT. QSE (Keduanya juga ditetapkan tersangka), tapi sejumlah aset wah disita dari keduanya. Mobil mewah, jam tangan mewah dan tas branded puluhan jumlahnya.
Lainnya, instrumen pajak. Walau untuk yang satu ini sulit diperoleh alasan kerahasiaan pembayar pajak ?
Lepas dari semua alat ukur itu, maka satu -satunya alat ukur yang sahih dan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum, adalah alat bukti alias fakta hukum di persidangan.
Secara tidak langsung, Jampidsus Febrie Adriansyah, Doktor Hukum jebolan Paska Sarjana Unair sudah memberikan isyarat yang bisa dikatagorikan sebagai alat ukur.
Isyarat dimaksud, yang disampaikan pada Rabu (29/5) adalah bila ditemukan fakta hukum di ruang sidang para terdakwa Timah, maka pihaknya tidak segan- segan menjadikan tersangka, Robert Bono sekalipun.
Jurnalis dipersilahkan mengikuti jalannya persidangan dan menanyakan kepada Kejagung, jika diperoleh alat bukti di ruang sidang.
AKTOR INTELEKTUAL
Pertanyaan mengenai Suparta menjadi penting untuk menguak siapa sesungguhnya aktor intelektual dalam perkara korupsi terbesar sepanjang 79 Tahun Indonesia Merdeka !
Upaya mengejar aktor intelektual ini memang tidak mudah membalik telapak tangan.
Terkait atau tidak, dua kali di atas Langit Gedung Menara Kartika Adhyaksa tempat Jampidsus dan Jajaran berkantor sempat diwarnai dua kali Drone ulang-alik.
Kemudian, praktik penguntitan Jampidsus oleh Oknum Petugas Berseragam sejak 23 April sampai 16 Mei yang berujung ditangkapnya salah seorang dari mereka saat mengintai Jampidsus yang sedang menikmati makan malam di sebuah Kawasan di Cipete, Jakarta Selatan.
Bagi penulis, mengungkapkan aktor intelektual menjadi sangat penting dan mendesak agar hal ini tidak menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum.
Penegakan hukum bukan sekadar retorika yang diucapkan di aneka kesempatan sekedar ingin disebut peduli dengan pemberantasan korupsi, khususnya Penguasa.
Diamnya rakyat bukan diartikan mereka tidak peduli bisa terjadi karena mereka sudah capek dan muak lantaran perbedaan 180 derajat antara apa yang diucapkan dengan apa yang dilakukan. (Wartawan Senior *)