Oleh: Abdul Haris Iriawan *)
DUGAAN kerusakan etika-moral pada lima tahun terakhir bukan isapan jempol dan bahkan sudah menjalar kepada generasi muda. Puncak kerusakan.
Selama ini, kita berasumsi kasus dugaan pelanggaran etika-moral hanya dilakukan para pejabat negara dan masuk kategori generasi terdahulu, seperti kasus Ketua MK (saat itu) Anwar Usman dan kasus Ketua KPU Hasyim Asy’ari.
Alasannya sederhana, mereka diduga butuh persiapan untuk memasuki masa pensiun dan karena itu dengan aneka cara mereka dengan penuh kesadaran melakukan perbuatan yang melanggar sumpah jabatan.
Perbuatan dimaksud, mulai mengakomodir kepentingan pengusaha secara langsung atau tidak langsung. Bisa pula, melakukan perbuatan melanggar hukum guna persiapan masa depan.
Ternyata, dugaan atau asumsi tersebut salah dan diri ini dibuat terkejut ketika dugaan perbuatan pelanggaran etika-moral langsung atau tidak langsung dilakukan oleh generasi muda yang selama ini diharapkan akan menjadi penerus estafet kepemimpinan. Tentu menjadi lebih baik.
Kasus Erika Gudono, isteri putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep dan Jelita Jeje, Mantu Pejabat Tinggi Kejaksaan Agung adalah contoh.
Erika terkait penyewaan Private Jet dan makan roti seharga Rp 400 ribu yang diunggah di media sosial. Sementara Jelita terkait pembelaan terhadap Erika dengan mencontohkan dirinya selaku isteri dari putra Pejabat Tinggi Kejaksaan Agung, yang menurutnya bukan hal mengejutkan.
Sebab, dirinya sendiri saat bepergian ke luar negeri sering ditanya para pengusaha tentang apa yang dapat dibantu.
Sebelum ini, kasus DPR yang akan mengesahkan revisi atas putusan MK, khususnya soal batasan usia pencalonan Kepala Daerah pada Pilkada mendatang. Publik sebut upaya sporadis DPR hanya untuk mengakomodir putra bungsu Jokowi ?
SECERCAH HARAPAN
Sejumlah pertanyaan mengemuka, mulai maraknya pelanggaran etika -moral belakangan ini terutama yang berada pada pusaran kekuasaan dan hilangnya rasa malu !
Walau begitu, di tengah kerusakan yang menjadi -jadi dan dipertontonkan di ruang Publik itu ada secercah harapan saat Publik tanpa dimobilisasi dengan penuh kesadaran ‘menghukum’ mereka.
Kemajuan teknologi membuat Publik bisa langsung beraksi di ruang media sosial, entah di Telegram, X (dulu Twitter) dan sarana lainnya.
Ruang Medsos dibuat heboh dan bisa jadi pula membuat mereka tidak dapat tidur nyenyak dan bisa jadi pula pihak yang berkepentingan kebakaran jengot walau tidak punya jengot sama sekali di wajahnya.
Ada adagium di ruang Publik yang sudah menjadi Trensetter bahwa No Viral No Justice (tidak ada keadilan, bila kasusnya tidak diviralkan).
Hemat saya, kerusakan ini tidak lepas dari kondisi penegakan hukum selama ini yang dinilai hanya berlaku pada rakyat kecil, tidak punya akses kepada kekuasaan dan tidak punya uang.
Keadaan ini diperkuat karena tiadanya ketegasan dan keteladanan dari pemegang kekuasaan dan para pihak yang berada di pusaran kekuasaan.
Tanpa sadar, mereka terkadang mempertontonkan secara telanjang. Rakyat pun nyaris sudah kehilangan akal sehat. Harus berbuat apa.
TANPA PANDANG BULU
Solusinya, pemegang kekuasaan harus bersikap tegas tanpa pandang bulu agar Publik tahu bahwa hukum itu berlaku untuk semua seperti diatur dalam konstitusi.
Selain itu, keteladanan dari pada elit dan jajarannya sehingga rakyat mempunyai patokan bersikap, berbicara dan bertindak.
Dalam konteks Patron-Client maka keteladanan tidak bisa ditawar. Keteladanan dalam artian apa yang diutarakan, itulah pula yang dilakukan.
Bukan janji -janji kosong dan permintaan maaf lalu terus melakukan perbuatan senada.
Indonesia dalam keadaan sakit. (Wartawan Senior *)