Oleh: Abdul Haris Iriawan *)
DUA tahun lima bulan Sprindik Skandal Tanah Pertamina, Rawamangun, Jakarta Timur diterbitkan dan tiga Kepala Kejaksaan Tinggi DKJ silih-berganti, namun sampai kini tidak berujung.
Sprindik Kajati DKI tertuang dalam nomor: Print-1018/M.1/Fd.1/04/ 2022 tanggal 04 April 2022.
Padahal, kasus mafia tanah menjadi atensi dari Jaksa Agung sesuai Surat Perintah Jaksa Agung No. PRINT-8/A/JA /01/2022 tanggal 17 Januari 2022.
Puluhan saksi diperiksa diikuti penggeledahan dan penyitaan sejumlah alat bukti, tapi perkara yang diduga merugikan negara (Pertamina, Red) Rp 244, 6 miliar tidak beringsut dan hilang ditelan waktu.
Saksi yang diperiksa termasuk Dubes RI untuk Papua Nugini dan Kep. Salomon inisial yang diperiksa, Jumat (27/5/2022) bersama RP (Panitera pada Pengadilan Negeri Jakarta Timur), AH (Pengacara) dan DS (Anggota Satpalwal Dirlantas Polda Metro Jaya).
Semua diam dan bungkam. Entah alasan apa sehingga semua pihak terkait seperti ogah ngomong sama sekali ?
Padahal, Skandal Minyak Goreng yang sempat ditangani di masa Kajati DKI Dr. Febrie Adriansyah (sebelum diganti Reda Manthovani, Red) dan Aspidsus Dr. Abd. Qohar sempat diambil-alih dan perkara berujung penetapan tersangka dan dibawa ke pengadilan.
Pengambil-alihan perkara dilakukan sesuai Febrie dilantik sebagai Jampidsus pada 10 Januari 2022.
Lalu, kenapa perkara ini dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian, tapi tidak diambil-alih oleh Kejaksaan Agung.
Adakah kesulitan amat sangat dan atau faktor intervensi sehingga Kejagung tidak mengambil-alih ?
Dugaan ada tangan kuat mencuat lantaran Abd. Qohar beberapa waktu lalu sudah dilantik sebagai Direktur Penyidikan pada Jampidsus, namun sampai kini belum disikapi ?
Pertanyaan demi pertanyaan terus bermunculan yang pada intinya mempertanyakan keberlanjutan perkara tersebut.
Penulis masih ingat pernyataan Jaksa Agung ST. Burhanuddin di aneka kesempatan agar berhati-hati dalam penanganan kasus korupsi.
Dus karena itu pula, Burhanuddin minta Jajarannya untuk tidak segan-segan menghentikan penyidikan, jika tidak cukup bukti.
“Kepercayaan Publik jangan dicederai. Saya tidak segan-segan menindak jaksa yang nakal, ” kata dia dalam amanat Perayaan Hari Ulang Tahun Kejaksaan, 2 September lalu.
Statement Burhanuddin dapat dipahami mengingat Trus Publik terhadap Kejaksaan sudah mencapai angka 74 persen lebih di atas lembaga penegak hukum lain.
Mengacu kepada aneka kejadian di sekitar kita bisa jadi persoalan dibiarkan berlalu mengikuti teori waktu.
Pada akhirnya semua akan lupa ?
GUGATAN
Kasus berawal pemanfaatan lahan milik PT. Pertamina seluas 1, 6 hektar, di Jalan Pemuda, Ramawangun, Jakarta Timur.
Lahan tersebut dimanfaatkan sebagai Maritime Training Center (MTC) seluas sekitar 4000 M², Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) sekitar 4000 M² dan 20 unit rumah dinas perusahaan yang dipinjam pakai oleh Bappenas.
Pemanfaatan tersebut berdasarkan akta pengoperan dan penyerahan tanah Nomor 58 Tanggal 18 September 1973.
Masalah kemudian muncul, ketika pada 2014, seorang bernama OO Binti Medi menggugat Pertamina ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur dengan Nomor Perkara: 127/PDT.G/2014/ PN.Jkt.Tim.
Penggugat, mengaku sebagai pemilik tanah seluas 12.230 M² dengan dasar surat tanah, terdiri Verponding Indonesia Nomor C 178, Verponding Indonesia No C 22 dan Surat Ketetapan Padjak Hasil Bumi No. 28.
Gugatan OO dikabulkan pengadilan tertuang dalam putusan No: 127/Pdt.G/ 2014/PN. Jkt.Tim jo No 162/PDT/2016/ PT.DKI jo No. 1774 K/PDT/2017 jo No. 795 PK/PDT/2019.
Pertamina dihukum untuk membayar ganti rugi tanah sebesar Rp244, 6 miliar, namun belakangan uang itu tidak dinikmati sepenuhnya oleh ahli waris.
Belakangan, terungkap 2 surat Verponding Indonesia dan 1 Surat Ketetapan Pajak dasar gugatan oleh OO Binti Medi, diduga palsu.
Dengan demikian, mereka tidak berhak atas ganti rugi yang notabene uang negara (PT. Pertamina) dibancak banyak pihak. (Wartawan Senior *)