Degradasi Tuntutan Terdakwa Skandal Timah

Abdul Haris Iriawan * )

DEGADRASI?

Pertanyaan itu seketika mengalir begitu saja ketika melihat tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap 16 terdakwa perkara tata kelola tambang timah arau tepatnya Skandal Timah di Pengadilan Tipikor Jakarta, dua pekan terakhir.

Tuntutan berkisar dari 6 hingga 14 tahun penjara plus denda dan membayar uang pengganti.

Padahal, dugan kerugian negara mencapai Rp 328 triliun. Fantastis dan tercatat rekor dalan sejarah Republik berdiri.

Sayangnya, dalam artian negatif bukan positif yang bermakna pemasukan negara dari bisnis timah (PT. Timah Tbk).

Bandingkan dengan Skandal Asuransi Jiwasraya yang kerugian negaranya hanya Rp 18 triliun dua terdakwa dituntut hukuman seumur hidup.

Bahkan, Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro yang sempat dituntut pidana seumur hidup malah dalam Skandal Asabri diperberat menjadi tuntutan pidana mati, dengan dalih melakukan perbuatan korupsi berulang. Kerugian negara hanya Rp 22 triliun.

Dalam Skandal Timah, pidana 14 tahun dijatuhkan kepada 4 Pemilik Smelter, terdiri Dirut PT. Refined Bangka Tin (RBT) Suparta, Beneficial Owner CV. Venus Inti Perkasa (VIP) Tamron, Dirut PT. Sariwiguna Bina Sentosa (SBS) Robert Indarto dan Komisaris PT. Stanindo Inti Perkasa Suwito Gunawan.

Sebaliknya, tiga tokoh penting dalam Skandal ini hanya dituntut 12 tahun penjara atas nama Mantan Dirut PT. Timah Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Direktur Keuangan Emil Ermindra serta Harvey Moeis (Perwakilan RBT) !

Degradasi ini dalam konteks teori perbandingan bukan spirit pemberantasan korupsi. Sebab, pada praktiknya Kejaksaan Agung justru paling getol membongkar praktik korupsi.

Seperti dalam skandal ini sendiri di awal hingga akhir, Kejagung melakukan lompatan hingga menjadikan 23 orang sebagai tersangka. Satu diantaranya terkait penghalangan penyidikan.

Kata heboh mungkin paling tepat menggambarkan suasana penyidikan.

Hingga kemudian menarik wartawan infotainment mendatangi Kejagung karena Sandra Dewi (Selebritas) isteri Harvey Moeis berulang diperiksa

Selain itu pula, Kejagung juga memeriksa pengusaha besar Robert Bono sampai dua kali. Dugaan saat itu bagian dari Skandal.

AKTOR INTELEKTUAL

Kata degradasi alias penurunan peringkat ini menyusul tidak terungkapnya aktor intelektual dalam perkara tersebut.

Harvey Moeis Dkk yang digadang-gadang mengungkapkan hal itu, justru bersikap Defensif.

Seperti contoh penggunaan kediaman Robert Bono di Gunawarman, Jakarta Selatan untuk penyerahan duit CSR dari Helena Lim. Harvey menyebut tempat itu sebagai rumah singgah.

Lalu, dirinya yang ditunjuk sebagai Perwakilan RBT dalam menjalin kerjasama dengan PT. Timah dan mengkoordinir 4 Smelter lainnya.

Serta, berkomunikasi dengan mudahnya dengan Kapolda Babel dan Jajaran Direksi PT. Timah di usianya yang muda dan muda dalam menjalani bisnis timah.

Deretan prestasi Harvey sedikit tercoreng ketika terdakwa Rosalina (GM. Tinindo Inter Nusa) menyebut dirinya sempat berkenalan dengan Harvey sejak 2016.

Sayang petunjuk yang berharga itu tidak dielaborasi lebih jauh, baik oleh JPU maupun Majelis Hakim.

Tahun 2016 adalah saat Agra Graha Network (AGN) yang didirikan 2007, mengalihkan atau menjual kepemilikan sahamnya dan berubah menjadi RBT dan disebut dibeli oleh pengusaha timah di Babel.

Atas fakta-fakta tersebut seyogyanya Harvey Moeis Dkk dituntut seumur hidup sebagai ganjaran ?

Namun, kita jangan kecewa dahulu sebab bisa jadi dalam putusan atau vonis majelis hakim bisa lebih berat dan atau bahkan lebih ringan. Waktu akan menjadi saksi.

Perkara tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang yang belum lama dijadikan tersangka karena dugaan suap dari keluarga berperkara atas putusan bebas Ronald Tannur hendaknya menjadi cermin, guna menunjukan kepada Publik bahwa hakim memiliki kemandirian untuk memvonis. (Wartawan Senior *)