Kinerja Jampidsus Jawaban Suara Minor
PORTALKRIMINALID -JAKARTA: Hanya butuh 4 bulan, tersangka perkara korupsi di PT. Pertamina yang merugikan negara Rp 193, 7 triliun sudah dapat ditetapkan oleh Kejaksaan Agung.
Prestasi Satker Jampidsus yang digawangi Dr. Febrie Adriansyah jawaban telak atas berbagai pihak yang masih bersuara minor yang bahkan minta tanggalkan kewenangan penyidikan tindak pidana khusus dari Kejaksaan.
“Satu kata spektakuler. Apresiasi setingginya kepada Jajaran Pidsus Kejagung, ” komentari Pegiat Anti Korupsi Iqbal D. Hutapea secara terpisah.
Prestasi ini mengulangi kinerja dalam membongkar tata kelola komoditas timah di wilayah IUP PT. Timah periode 2018 -2022 yang merugikan negara Rp 300 triliun.
“Pantas, bila kemudian Jampidsus dipercaya sebagai Ketua Pelaksana Satgas Penertiban Kawasan Hutan oleh Presiden, ” pungkas Iqbal.
Capaian ini juga menjadi dukungan atas pembentukan BPI Danantara yang diresmikan oleh Presiden Prabowo Subianto beberapa jam sebelumnya.
Jamak terdengar di kuping bahwa BUMN selama ini hanya menjadi ajang memperkaya diri sejumlah oknum dan rezim penguasa sebelum ini.
Perkara ini disidik sejak 24 Oktober 2024 sesuai surat perintah penyidikan (Sprindik) bernomor: 59/FD2/FD.2/10/2024.
Terkait kerugian negara sebesar Rp 193, 7 triliun selama kurun waktu 2018 – 2023 masih hitungan penyidik.
“Tentu, kita akan minta auditor (BPKP atau BPK, Red) untuk menghitung pasti kerugian negaranya, ” tutur Qohar.
Dia menyebut kerugian bersumber dari berbagai komponen, mulai kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri dan impor minyak mentah melalui demut atau broker.
ANAK USAHA PERTAMINA
Direktur Penyidikan Dr. Abd Qohar didampingi Kapuspenkum Dr. Harli Siregar menyebutkan sebanyak 7 tersangka ditetapkan dalam perkara tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT. Pertamina, sub- Holding dan kontraktor kontrak kerjasama periode 2018- 2023.
“Demi kepentingan penyidikan terhadap 7 tersangka langsung ditahan usai diperiksa di Gedung Menara Kartika Adhyaksa, ” kata Qohar dalam keterangan pers, Senin (24/2) malam.
Ketujuh tersangka dijerat Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Ji. Pasal 18 UU Tipikor. Ancaman hukuman seumur hidup dan atau paling lama 20 tahun penjara.
Para tersangka sebagian besar berasal dari anak usaha PT. Pertamina (BUMN) dan rekanan Pertamina.
Mereka, terdiri Dirut PT. Pertamina Niaga inisial RS diduga Riva Siahaan, Direktur Feed Stock and Product Optimization PT. Kilang Pertamina Internasional SDS diduga Sani Dinar Saifuddin.
Selanjutnya, Dirut PT. Pertamina International Shipping YF diduga Yoki Firnandi, VP Feed Stock Management PT. Kilang Pertamina Internasional AP diduga Agus Purwono.
Lalu, rekanan alias broker Pertamina yakni, Beneficial Owner PT. Navigator Khatulistiwa
MKAN, Komisaris PT. Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim DW dan terakhir Komisaris PT. Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT. Orbit Terminal Merak GRJ diduga Gading Ramadhan Joedo.
PERMUFAKATAN JAHAT
Qohar paparkan perkara berawal pada tahun 2018 sampai 2023 ketika Pertamina diwajibkan cari pasokan minya bumi beral dari kontraktor dalam negeri, dalam pemenuhan minyak mentah dalam negeri sebelum melakukan impor.
Ketentuan itu diatur dalam Pasal 2 dan 3 Permen ESDM Nomor 42/2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri.
“Ketentuan itu tidak dilakukan tersangka RS, SDS dan AP. Ketiganya, justru melakukan persekongkolan yang membuat produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap dengan cara menurunkan produksi kilang hingga pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang harus dilakukan
dengan cara impor. “
Dia beberkan saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan, maka produksi minyak mentah dalam negeri oleh pihak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) juga ditolak oleh para pelaku yang terlibat. Pelaku beralasan minyak mentah yang diproduksi oleh K3S tidak memenuhi nilai ekonomis.
“Padahal, Harga yang ditawarkan oleh K3S masih masuk range harga HPS, ” ungkap Mantan Koordinator Pidsus ini.
Tidak berhenti disitu modusnya, mereka juga beralasan produksi minyak mentah oleh K3S tidak sesuai spesifikasi, meski sesungguhnya minyak mentah bagian negara masih sesuai spesifikasi kilang dan dapat dioleh atau dihilangkan kadar merkuri atau sulfurnya.
Saat, produk K3S ditolak, mereka punya alibi minyak tersebut harus diekspor.
“Atas alasan itu, pemenuhan minyak dalam negeri harus dilakukan impor yangg otomatis harganya lebih mahal dibanding dengan harga produksi dalam negeri. “
Impor dilakukan oleh PT. Kilang Pertamina Internasional guna penuhi kebutuhan dalam negeri. Sementara, PT. Pertamina Patra Niaga impor produk kilang.
Atas fakta-fakta tersebut, Qohar berkesimpulan telah terjadinya permufakatan jahat yang melibatkan penyelenggara negara dan swasta.
“Semua dilakukan untuk raih keuntungan secara melawan hukum, tapi berakibat munculnya kerugian negara, ” pungkasnya.(ahi).