Political Will Dikantongi: Pembuat Policy Impor BBM Harus Diminta Tanggung Jawab Hukum

Oleh: Abdul Haris Iriawan *)

UNTUNG ada Prabowo Subianto, Presiden terpilih periode 2024 -2029 praktik koruptif impor minyak dan percampuran RON (Research Octane Number) 88 (Pertalite) dan RON 92 yang merugikan negara Rp 193, 7 triliun (untuk tahun 2023) terbongkar. Asumsi praktik terjadi sejak 2018, maka total nyaris Rp 1. OOO triliun !

Kenapa disebut untung, karena sempat tersiar berita yang disampaikan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengutip Ibu Mega, Presiden sebelumnya sempat minta perpanjangan kekuasaannya menjadi tiga periode.

Bisa jadi (asumsi), perkara berupa kejahatan terbesar dalam sejarah Republik berdiri pada 1945 tidak bakal terungkap jika perpanjangan tiga periode disetujui dan rakyat terima pil pahit: harus membayar harga BBM lebih mahal dan kendaraan menjadi rusak.

Semua karena rencana Sang Penguasa Alam Semesta, semua kejahatan terbongkar, mulai Judi Online, Pagar Laut dan terakhir Impor BBM (percampuran Pertalite dan Pertamax).

Semua bisa terbuka dan terang -benderang juga tidak lepas integritas Prabowo Subianto dibantu kecerdasan Jampidsus Dr. Febrie Adriansyah. Mereka berdua dipilih untuk menuntaskan Mega Skandal Korupsi Terbesar tersebut.

Sebagai bagian dari rakyat, kita sangat berharap perkara ini tidak berhenti pada tersangka Reva Siahaan Dkk, tapi terus dikejar sampai petinggi dan akar-akarnya.

Apalagi Political Will sudah diperoleh dari Presiden yang minta perkara dituntaskan.

Oleh karena itu, hendaknya Kejaksaan Agung harus mampu mengungkap pembuat policy dan menjadikan tersangka.

Alasan sederhana, karena persetujuan tersebut, praktik itu bisa berlangsung sejak 2018 -2023 tanpa ada hambatan.

Sekaligus, menjerat mereka dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan tidak sebatas tindak pidana korupsi (Tipikor) agar diketahui siapa saja terima aliran uang hasil kejahatan tersebut.

Terakhir, tindak pidana yang merugikan perekonomian negara.
Lantaran, perbuatan Reva Siahaan Dkk amat dan sangat merugikan perekonomian negara.

PERMUFAKATAN JAHAT

Kembali, kepada pokok permasalahan yakni pengondisian minyak mentah hasil dari kontrak karya dalam negeri yang disebut berkurang dan tidak punya nilai ekonomis.

Modus tersebut dilakukan sebagai cara untuk meyakinkan pembuat kebijakan agar dilakukan impor minyak mentah. Tentu, dengan harga lebih mahal dan penggelembungan biaya kontrak pengiriman minyak impor.

Pertanyaannya, apakah atasan Reva Dkk, dalam hal ini Komisaris dan Direksi PT. Pertamina tidak melakukan cek silang (cross check). Pertanyaan sama, apakah Menteri ESDM (Ditjen Migas, Red) juga menerima begitu saja usulan dari Reva Dkk ?

Bila melihat kasus posisi yang dijelaskan Kejaksaan Agung bahwa praktik itu berlangsung sejak 2018, maka hampir dapat dipastikan usulan Reva Dkk disetujui?

Apakah persetujuan tersebut murni perhitungan bisnis atau karena ada tekanan dan atau permufakatan jahat menjadi tugas tim penyidik untuk mengusutnya.

Perhitungan bisnis jelas tidak, karena sangat jelas praktik Reva Siahaan hanya untuk menguntungkan diri sendiri dan pihak lain (M. Kerry Andrianto Riza notabene putra Raja Minyak Reza Chalid, Red) selaku Pemilik Terminal PT. Orbit Terminal Merak tempat percampuran RON 90 dan RON 92.

Adalah sangat mungkin karena adanya tekanan yang bermuara terbangun permufakatan jahat ?

Siapa mereka ?

Kejagung harus memeriksa atasan Reva Siahaan Dkk termasuk pucuk pimpinan saat itu (2018 – 2023).

Tekanan hampir jamak terdengar, seperti kasus dugaan korupsi di Direktorat Jenderal Perkeretaapian dengan terdakwa Pejabat Pembuat Komitmen pada BTP Jateng Yofi Okatriza di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (13/1).

Mantan Direktur Sarana Transportasi Jalan Kemenhub Danto Restyawan sebagai saksi.

Danto mengungkap pengumpulan uang untuk membantu pemenangan Joko Widodo pada Pilpres 2019.

Saat itu, Direktur Prasarana Kemenhub Zamrides mendapat tugas dari Menhub Budi Karya Sumadi.

Danto menjelaskan dirinya diminta mengumpulkan uang sekitar Rp 5,5 miliar guna keperluan pemenangan pada Pilpres.

Ketika itu, Saat Danto masih menjabat sebagai Direktur Lalu Lintas Kereta Api Kemenhub. Ia menuturkan uang tersebut dikumpulkan dari para PPK di DJKA yang bersumber dari para kontraktor proyek perkeretaapian.

PEMBUAT POLICY

Sampai kini, baru tujuh tersangka tersangka ditetapkan, namun baru menjangkau pelaksana lapangan dan belum menjangkau pembuat policy (kebijakan).

Kapan?

Jawabannya hanya penyidik yang tahu dan sangat mungkin segera. Disebut segera karena perkara ini menarik atensi Presiden dan Publik

Selain itu, menjadikan Menteri sebagai tersangka bukan barang baru. Dalam. Perkara BTS 4 G, Kejagung tetapkan Menkominfo Johhny G. Plate ditetapkan tersangka

Para tersangka, Maya Kusmaya selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga dan Edward Corner (VIP Trading Produk PT. Pertamina Patra Niaga).

Lainnya, Dirut PT. Pertamina Patra Niaga (PPN) Riva Siahaan, Dirut PT. Pertamina International Shipping (PIS) Yoki Firnandi, Direktur Optimalisasi dan Produk PT. Kilang Pertamina Internasional (KPI) Sani Dinar Saifuddin.

Lalu, Agus Purwono (Vice President Feedstock Manajemen pada PT. KPI), Gading Ramadhan Joedo selalu Dirut PT. Orbit Terminal Merak (OTM) juga Komisaris PT. Jenggala Maritim Nusantara (JMN) dan Dimas Werhaspati selaku Komisaris PT. Navigator Khatulistiwa (NK) juga Komisaris PT. JMN.

Terakhir, Beneficial Owner PT. Navigator Khatulistiwa (NK) M. Kerry Andrianto Riza yang notabene putra Raja Impor Minyak M. Riza Chalid biasa disapa Reza Chalid yang kediamannya sempat digeledah pada Selasa (25/2). (Wartawan Senior *)